Bagaimana Literasi Digital yang Bijak melalui Pembelajaran Pendidikan Pancasila dapat Berperan dalam Mencegah Maraknya Bullying di Sekolah?

Judul Asli Artikel: Dimensi Sosial Pemberitaan Daring Pembullyan di Pondok Pesantren: Analisis Wacana Kritis Van Dijk

✍️ Penulis:

🗞️ Dipublikasikan dalam:
AKSARA: Jurnal Bahasa dan Sastra, Volume 26 No. 1, 2025, Halaman 408–417
🔗 Akses artikel lengkap di sini
📌 DOI: 10.23960/aksara/v26i1.pp408-417


💬 Insight Reflektif

“Literasi digital tanpa nilai kemanusiaan akan menjadi ruang yang membahayakan. Di situlah Pendidikan Pancasila harus hadir, membangun warga digital yang beradab, respek, dan sadar akan harkat manusia.”


Artikel ini menggambarkan dinamika pemberitaan daring seputar kasus bullying di lingkungan pendidikan pesantren, yang dianalisis dengan pendekatan wacana kritis Van Dijk. Melalui analisis tersebut, penulis menyoroti bagaimana struktur sosial dan ketimpangan informasi dalam pemberitaan digital menciptakan ketidakadilan terhadap korban bullying. Kasus ini menjadi refleksi penting bahwa literasi digital bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi harus berpijak pada nilai dan keadaban dalam bermedia.

Dari refleksi tersebut, Pendidikan Pancasila di sekolah dasar perlu diarahkan sebagai pendidikan nilai (value education) yang menanamkan sikap kewarganegaraan digital yang baik, terutama sikap respek terhadap diri sendiri dan orang lain. Praktik bullying, baik secara verbal, fisik, maupun digital—termasuk yang dibungkus dalam bentuk candaan—adalah bentuk kekerasan yang bertentangan secara esensial dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam Pancasila, penghargaan terhadap martabat manusia adalah pilar fundamental, karena setiap manusia memiliki kedudukan yang sama dan mulia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan dalam ajaran keagamaan, manusia dikaruniai derajat yang lebih tinggi dibanding makhluk lain karena akal dan hatinya.

Dengan demikian, guru Pendidikan Pancasila di sekolah dasar tidak boleh berhenti pada pengajaran teks atau hafalan sila. Mereka perlu menghidupkan nilai-nilai tersebut dalam praktik keseharian digital anak, termasuk dalam berinteraksi di media sosial, bermain game daring, hingga bercakap dalam grup daring. Refleksi kritis atas kasus nyata seperti ini dapat dijadikan bahan pembelajaran bermakna untuk mengembangkan empati, keberanian menolak kekerasan, dan sikap bijak dalam berkomunikasi digital.

📌 Format Sitasi APA

Navisa, L., Lutfitasari, W., & Mujtahidin. (2025). Dimensi Sosial Pemberitaan Daring Pembullyan di Pondok Pesantren: Analisis Wacana Kritis Van Dijk. AKSARA: Jurnal Bahasa dan Sastra, 26(1), 408–417. https://doi.org/10.23960/aksara/v26i1.pp408-417


📤 Bagikan Insight Ini:

✍️ Ingin mengirim insight reflektif akadmik Anda? Kirim ke direct.musa@gmail.com


Salam Generasi Digital yang Literat dan Bijak
🌐 directcitizen.id: Mendidik warga digital yang reflektif, bernilai, dan bijak
🕊️ Musa Foundation

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *